Selasa, 13 September 2022

Subsidi BBM dipangkas, Tenang Indonesia Baik-baik Saja

 


Indonesia kini tersandera subsidi bahan bakar minyak (BBM). Padahal Indonesia pernah memangkas dana subsidi dengan sangat drastis pada 2015 silam dan ekonomi Indonesia baik-baik saja.

Kebijakan tersebut sejatinya dilaksanakan oleh Jokowi saat baru terpilih. Kala itu, Jokowi merasa ruang fiskal sangat sempit, sementara pembangunan infrastruktur sangat mendesak.

Juga patut diketahui, sejak sebelumnya semua pihak sudah sepakat bahwa subsidi BBM hanya ibarat kebijakan 'bakar uang' semata, karena dinikmati oleh orang kaya dan tak memberikan dampak besar ke perekonomian.

"Kita pernah melakukan reformasi yang sangat progresif tahun 2014 ke 2015, di mana subsidi dan kompensasi energi cukup tajam. Dari 3,2% PDB menjadi 1% PDB," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR RI, Senin (12/9/2022)

Pada 2014, subsidi BBM menghabiskan dana sebesar Rp 240 triliun. Harga minyak dunia yang digambarkan lewat Indonesia Crude Price (ICP) US$ 96,5 per barel dan kurs Rp 12.189 per dolar AS.

Jumlah subsidi yang terus naik dari tahun-tahun sebelumnya, seiring dengan kenaikan harga minyak dunia, pelemahan nilai tukar dan kenaikan konsumsi hingga rawan penyelewengan.

Pemerintah sebelum era Jokowi bukan tanpa usaha. Sederet kebijakan pernah dilaksanakan. Mulai dari pemasangan stiker BBM non subsidi hingga penggunaan teknologi Radio Frequency Identification (RFID). Hanya saja memang kurang efektif atau beberapa kalangan menyebut lebih tidak ada gunanya.

Reformasi Jokowi juga terbantu oleh harga minyak dunia yang tiba-tiba turun drastis ke level US$ 40 per barel. Jadi, sekalipun subsidi hampir sepenuhnya dicabut, harga BBM, yaitu premium dan solar masih rendah.

Pemangkasan dana subsidi, lanjut Febrio kemudian dialihkan ke pembangunan infrastruktur. Pemerintah cukup gencar membangun jalan, pelabuhan, bandar udara (bandara), pembangkit listrik

dan infrastruktur lainnya dari Sabang sampai Merauke. Tak salah bila pertumbuhan ekonomi cukup stabil bergerak di level 4-5%.

"Saat itu kita menghubungkan subsidi dan kompensasi ini dengan infrastruktur yang kemudian bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan tarif hidup masyarakat banyak," jelas Febrio.


0 komentar:

Posting Komentar